Tema: “Keluarga Yang Berfondasikan Tuhan”
Mazmur 127
Oleh: Ev. Hellen C. Pratama
Mazmur 127 adalah salah satu Mazmur dari rangkaian Mazmur Ziarah yang dilantunkan oleh orang Israel di dalam perjalanan mereka menuju Rumah Allah di Yerusalem. Sebuah Mazmur yang menjadi pengingat bagi Umat tentang bagaimana mereka seharusnya menempatkan “kehidupan, pekerjaan, keluarga “ di dalam perspektif yang tepat. Sebuah cara pandang yang mengalirkan arus hidup yang dibangun di seputar Tuhan.
Tuhan menjadi fondasi bagi seluruh kehidupan kita dan Dia menjadi pusat gravitasi yang di atasnya seluruh kehidupan kita mendapatkan alas. Ini tentang mengakui kehadiran, karya Tuhan yang bukan hanya mencipta, namun juga menjadi penyedia, pemelihara yang menopang kehidupan setiap kita anak-anak-Nya. Mazmur ini adalah tentang Allah yang mengurung kita didalam anugerah-Nya, dan hidup ini adalah tentang Tuhan.
Dari Berjalan Bersama Tuhan menjadi Berjalan Menuju Tuhan:
Tuhan yang diperkenalkan Alkitab kepada kita adalah Tuhan yang rindu terlibat dan menjumpai kita dalam kehidupan sehari-hari yang biasa saja, yang terkadang membosankan dan mencemaskan. Jauh sebelum kita menyembah Tuhan di gereja, jika kita menelusuri Alkitab hingga ke Kejadian, kita menemukan bahwa tujuan dari Tuhan menciptakan kita adalah untuk sebuah relasi; relasi kasih dengan Tuhan dan sesama. Kita melihat bagaimana Allah bergaul dan bersekutu dengan Adam dan Hawa di taman. Dan selanjutnya Tuhan juga bergaul karib dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Hubungan yang dijalin umat Tuhan pada saat itu berjalan tanpa sekat dan mengalir dalam “setting” perjalanan di kehidupan sehari-hari yang alamiah. Tetapi dalam perkembangannya, dimulai dengan keinginan Daud dan kemudian diwujudkan melalui Salomo manusia ingin “merumahkan” Tuhan. Sejak saat itu pergaulan manusia dengan Tuhan yang tadinya merupakan “berjalan bersama Tuhan” menjadi “berjalan menuju Tuhan”, dan hingga ke masa kini kita menemukan tanpa di sadari pergaulan dengan Tuhan semakin terpisah dari perjalanan hidup kita sehari-hari. Seolah olah kita memiliki dua jalur kehidupan, dan kita mengurung Tuhan di “gereja” kita bergaul dengannya selama “dua jam” di hari Minggu. Tuhan hanya menjadi tema popular di hari Minggu.
Dari Bekerja Melayani Tuhan, Menjadi Men “tuhankan” pekerjaan:
Maksud lainnya dari Tuhan menciptakan kita sebagai gambar dan rupa Nya, adalah agar kita menjadi rekan sekerja-Nya yang bekerja bersama dan untuk-Nya di dalam pengelolaan dan pengembangan bumi ciptaan-Nya. Tuhan menempatkan Adam untuk bekerja di dalam Taman-Nya. Hal itu terjadi jauh sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan tujuan dari memberikan Pekerjaan adalah perjalanan Kudus untuk melayani maksud Tuhan di dalam dunia-Nya. Namun di bawah pengaruh dorongan natur kita yang berdosa, kini kita menjadi para pecandu kerja yang bekerja mati-matian untuk bisa mengakumulasi materi yang kepadanya kita melekat erat dan pekerjaan kini menjadi sumber/upaya kita untuk mencapai keamanan dan keterjaminan.
Potret Pernikahan dalam Benak Allah:
Ketika Allah menghadiahkan pernikahan kepada Adam dan Hawa, di dalam benak Allah ada tujuan dan visi yang sangat agung yang Allah rindu bisa digambarkan oleh pernikahan kita, yaitu pernikahan kristiani menjadi potret/analogi tentang keindahan hubungan Kristus dan Umat Tebusan-Nya . Melalui keluarga yang dibentuk, akan dilahirkan keturunan Ilahi bagi Allah, yang dipersiapkan untuk mewarisi bumi Allah, dan dibina untuk bekerja bersama dan bagi Allah di manapun Allah menempatkan-Nya . Tak mengherankan jika keluarga menjadi topic yang dekat dengan hatiNya, dan amat penting di mata Allah, dari kitab Kejadian hingga Wahyu, dapat ditemukan percakapan Allah tentangnya. Namun lagi lagi keberdosaan kita telah menarik keluarga bergerak sangat jauh dari maksud Allah yang semula.
Semakin memikirkannya semakin kita sadar, kita tidak pernah akan mampu membangun kehidupan dan keluarga yang berfondasikan Tuhan jika bukan anugerah, penebusan serta pertolongan kekuatan dari Roh Kudus yang menopang dan memampukan kita.
Tangan Kita tanpa Tangan Tuhan; Mata kita tanpa Mata Tuhan = Sia Sia
Pemazmur memulai pengajarannya dengan pengakuan berulang “jikalau bukan Tuhan yang membangun… “ dan “Jikalau bukan Tuhan yang mengawal ….” (ayat 1). Dua hal yang disinggung dalam ayat ini adalah tentang “rumah” dan “Keamanan” . Mewakili “kenyamanan” dan “keterjaminan” hidup yang menjadi kebutuhan dan impian setiap manusia, dimana anak Tuhan yang membangun kehidupannya berfondasikan Tuhan, akan mencari dan melekatkan keamanan dan keterjaminan hidup dan keluarganya pada sumber yang sesungguhnya yaitu Pada pribadi Tuhan . (ayat 2).
Anak adalah Milik Pusaka Tuhan
Ayat 3-5, mengajarkan kita untuk melihat “anak-anak” adalah milik pusaka Tuhan yang dipinjamkan kepada setiap orang tua. Kita tidak memiliki kepemilikan atas mereka, karena kelahiran mereka di tengah keluarga kita adalah karya Tuhan yang sedang mereproduksi “gambar dan rupa-Nya” yang agung melalui pernikahan kita. Orang tua yang mengakui Anak adalah milik pusaka Tuhan akan:
• mempercayai Tuhan dalam penyediaan kebutuhan dan keamanan anak-anak mereka.
• Akan memandang mereka sebagai sebuah kepercayaan yang kudus dari Tuhan kepadanya, dimana suatu hari nanti kita harus memberi pertanggung jawaban atas kepercayaan-Nya
• Mengasuh dan mendidiknya untuk takut akan Tuhan
• Sering-sering bergumu dan bertanya kepada Tuhan tentang mereka.
• Memegang mereka dengan longgar, dan menerima ketika Tuhan memanggilnya pulang ataupun mengutusnya pergi ke suatu tempat untuk bekerja bagi-Nya.
- HCP -