Ringkasan Kotbah

ADVEN III
Tema: “The Greatest Gift Of Peace”
Mikha 5:1-4a; Lukas 1:39-45
Oleh: Pdt. Anni P. Saleh

PENDAHULUAN
Pada umumnya manusia menginginkan damai sejahtera dan ia bisa mengupayakannya. Tetapi damai sejahtera yang diusahakan manusia sangat terbatas, karena sifatnya conditional. Jika ada faktor pendukung yang baik, yang sesuai harapan, maka damai sejahtera itu dirasakan. Namun hanya oleh sedikit saja peristiwa yang tidak diinginkan di tengah rasa damai tersebut, maka hilanglah semuanya. Menegaskan hal itu, dalam Yohanes 14:27 Yesus bersabda: “... apa (damai sejahtera) yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu...”. Fakta ini memberitahukan, bahwa menginginkan damai sejahtera yang unconditional atau yang tidak terpengaruh oleh kondisi apapun hanya bisa ditemukan di dalam Yesus. Dan ini adalah kebenaran yang dinubuatkan di dalam kitab nabi Mikha.

PEMBAHASAN
Untuk memahami hal tersebut, kita harus mulai dari mengerti konteksnya.
Kondisi rakyat Yehuda sedang kehilangan damai sejahtera. Penyebab utamanya adalah kondisi spiritual pemimpin bangsa. Memang, Mikha melayani sebagai nabi Tuhan dalam pemerintahan tiga orang raja, yaitu raja Yotam, raja Ahas dan raja Hizkia, tetapi sebagian besar ayat-ayat dalam kitab ini lebih menggambarkan situasi saat Ahas menjadi raja.

Walau Ahas adalah raja Yehuda, ia tidak menghormati dan tidak percaya kepada Allah. Ia mulai dengan menduakan Allah dengan cara membuat patung-patung Baal dan menyembahnya. Ia juga melakukan hal-hal yang ekstrim yang dicontohnya dari bangsa-bangsa yang dihalau Allah dari hadapan Israel, yaitu dengan mempersembahkan anak-anaknya sebagai korban dengan cara membakarnya           (2 Tawarikh 28:1-6). Dan selanjutnya, ia menolak Allah dengan memerintahkan agar pintu rumah Allah ditutup (2 Tawarikh 28:24b).  Prinsip yang terkandung dibalik sikap Ahas adalah penolakan terhadap Allah dan firman-Nya. Polah tingkah raja Ahas yang semakin tidak setia terhadap Allah menyebabkan Allah merendahkan Yehuda oleh karena dia dan membiarkan mereka terbuang di negeri bangsa yang tidak mengenal Allah (2 Tawarikh 28:23b).

Kondisi lainnya yang juga terjadi di Yehuda adalah maraknya ketidak adilan sosial di tengah masyarakat. Kesenjangan ekonomi sangat terjal, karena yang kaya menjadi semakin kaya dengan jalan memeras, menindas dan merampas harta rakyat dengan sewenang-wenang. Rakyat jadi menderita.
Orang Yehuda kehilangan damai sejahtera dan Allah menghukum mereka karena Ahas. Tetapi Allah adalah Allah Perjanjian. Ia yang telah mengikatkan diri-Nya kepada umat-Nya adalah Allah yang setia. Sesuai rancangan keselamatan-Nya, walau Ia yang mendidik umat melalui teguran dan hukuman, Ia tidak membuang mereka. Melalui nabi Mikha, Allah menyatakan bahwa kasih sayangnya bersifat kekal. Apa yang dirancangkan-Nya sejak semula tidak akan berubah hanya oleh kedegilan hati manusia. Melalui nabi-Nya, Allah menjanjikan bahwa damai sejahtera itu akan datang (Mikha 5:1-4a).

Istilah shalom yang digunakan dalam ayat 4a jelas menunjuk kepada Raja Damai yang akan datang, yang memerintah di dalam hati manusia dan kehadiran-Nya membawa kedamaian yang bersifat unconditional. Damai itu dimulai dengan memulihkan hubungan manusia dengan Allah. Dalam surat-surat yang ditulis oleh para rasul, pemulihan hubungan dengan Allah dibahas bukan hanya sebagai titip pijak hidup sebagai manusia baru, tetapi juga menjadi langkah awal untuk bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah. Dengan bertahtanya damai sejahtera sejati di dalam hati, maka potensi hidup sebagai pembawa damai di antara sesama akan terbukakan.

Memperhatikan konteks penyampaian nubuatan ini, bukankah ini sebuah anugerah yang amat besar. Di tengah kebobrokan spiritualitas manusia, Allah menyatakan kasih dan kepedulian-Nya. Ia mengutus Anak-Nya sebagai sang pembawa damai yang sejati.

Selain janji yang indah tersebut di atas, melalui ayat  1-4a kita juga dapat belajar kebenaran tentang bagaimana membangun kehidupan di dalam damai sejahtera Allah, yaitu dengan menerima bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat yang punya cara dan waktu-Nya di dalam menuntun perjalanan hidup manusia.

Cara Allah tentu sangat berbeda dengan cara manusia. Misalnya, para pemimpin Yehuda memakai kekuasaan mereka untuk hidup dalam arogansi dan kesewenang-wenangan. Allah tidak demikian. Ia yang memiliki segala-galanya, datang ke dunia melalui cara yang tidak masuk akal manusia. Anak Allah akan lahir di kota kecil dan bahkan sejarah keselamatan mencatat Ia dibaringkan dalam sebuah palungan di kandang binatang.

Arogansi versus kerendahan hati. Allah memperhadapkan arogansi manusia dengan kerendahhatian-Nya.

Menerima cara Allah, mendatangkan damai sejahtera.
Allah juga punya waktu-Nya sendiri. Sejarah keselamatan menunjukkan bagaimana rancangan Allah menyelamatkan manusia begitu detail dan sempurna. Ia membuat semua indah pada waktu-Nya.
Mengakui dan menerima apa yang Allah kehendaki dan ijinkan selalu pada waktu-Nya akan membuat orang percaya hidup dalam damai sejahtera, apapun kondisi yang sedang dijalaninya.

PENUTUP
Kebenaran apa yang perlu menjadi perenungan pada Minggu Advent yang ketiga ini?
Allah tidak membiarkan dosa. Itu sebabnya, baik jika hari ini menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri. Sebagai umat Allah, adakah kita hidup menjauh dari Allah atau mendekat kepada-Nya?

Walau Allah tidak membiarkan dosa, Ia adalah Allah yang setia dan memberi jalan keluar atas ketidak berdayaan manusia untuk bisa mengalami hidup di dalam damai sejahtera dengan Allah dan sesama. Bagian manusia adalah merespons dengan menerimanya.

Damai sejahtera yang unconditional akan kita alami jika percaya bahwa Allah punya cara dan waktu yang terbaik dalam menolong orang percaya.
Amin.

- APS -

 

Menu Utama

Sedang Online

We have 115 guests and no members online