Ringkasan Kotbah

Tema : “Kekudusan dan Kasih Persaudaraan
1 Petrus 1:13-25
Oleh: Pdt. Amos Winarto

Pendahuluan
Fokus kita pada hari ini adalah pada ayat 22-25. Pusat dari ayat-ayat tersebut adalah perintah “hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu” (ayat 22). Yang ingin saya tekankan hari ini melalui khotbah adalah bahwa kekuatan atau energi orang Kristen untuk mengasihi datang melalui berharap terhadap Allah.

Untuk melihat hubungan antara kasih dan pengharapan tersebut saya mengajak kita terlebih dahulu untuk secara sepintas memperhatikan ayat-ayat sebelumnya dan   pasal 1 secara keseluruhan.

Pengharapan dalam 1 Petrus 1

Sejak awal Petrus sudah menekankan pengharapan karena ia menulis suratnya kepada orang-orang percaya yang bergumul dan menderita (1 Petrus 1:6). 1 Petrus 1:3 sudah menyatakan bahwa kita dilahirkan kembali untuk “suatu hidup yang penuh pengharapan”. Dengan kata lain, menurut Petrus “baru”nya ciptaan baru yang Paulus katakan dalam 2 Korintus 5:17 adalah bahwa sekarang orang-orang percaya itu menaruh pengharapan mereka kepada apa yang Allah dapat lakukan bukan kepada manusia atau dunia yang dapat lakukan. Ayat 3 dengan jelas mengatakan bahwa Allah membangkitkan Yesus dari orang mati untuk memberi kita pengharapan seperti itu. Kematian bukan lagi sesuatu yang menteror kita. Musuh manusia yang paling hebat sudah dihancurkan.

Ayat 4 memberikan 4 ciri bagian atau warisan yang menjadi pengharapan kita, yaitu: tidak dapat binasa, tidak dapat cemar, tidak dapat layu dan tersimpan di surga, dijaga oleh Allah sendiri. Ayat 5 semakin mengokohkan fondasi pengharapan kita karena Petrus mengatakan bukan hanya bagian atau warisan itu disimpankan oleh TUHAN bagi kita, melainkan kita sendiri “dipelihara” oleh Allah supaya betul-betul nantinya kita itu mendapatkan apa yang menjadi harapan kita. Petrus menegaskan ini dalam ayat 7 melalui membandingkan antara emas yang fana dengan iman yang tidak fana.

Ayat 9 menekankan lebih lagi soal pengharapan seperti ayat 5 bahwa hasil dari iman kita adalah keselamatan jiwa kita. Kita tidak akan binasa. Kita akan selamat, selamanya. Lalu ayat 10-12 mendorong kita untuk mengantisipasi, untuk mengharapkan masa depan yang indah seperti itu dengan menunjukkan bahwa para nabi di masa lalu ingin melihat kebenaran yang menimbulkan pengharapan demikian yang telah kita lihat dan bahkan para malaikat ingin mengetahui tentang injil keselamatan seperti itu.

Setelah 12 ayat menunjukkan apa yang Allah telah lakukan untuk memberi kita hidup yang penuh pengharapan, Petrus memberikan kita empat perintah di akhir pasal 1 ini. Perintah pertama adalah ayat 13 dimana ia mengatakan, “Letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus”. Dengan kata lain, kita sudah melihat segala alasan di atas yang TUHAN telah lakukan bagi kita supaya kita mempunyai hidup berpengharapan; karena itu, BERHARAPLAH! Berharaplah seluruhnya! Berharaplah di dalam anugerah Allah.

Perintah kedua tiba di ayat 15, “Hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu”. Orang yang menaruh seluruh pengharapannya kepada anugerah TUHAN adalah orang yang mencintai apa yang TUHAN cintai – yaitu menjadi kudus seperti Dia adalah kudus.

Perintah ketiga adalah “hendaklah kamu hidup dalam ketakutan” (ayat 17). Apa hubungan ketakutan dengan pengharapan dalam bagian ini? Hubungannya adalah jangan perlakukan harga mahal darah penebusan Yesus itu dengan sembarangan. Takutlah untuk memperlakukan apa yang TUHAN telah kerjakan bagi kita dan keselamatan kita itu dengan seenaknya. Dengan kata lain, takutlah untuk tidak berharap kepada TUHAN. Karena jika tidak, maka kita pasti akan berharap kepada sesuatu yang lain selain TUHAN.

Akhirnya, kita sampai kepada perintah keempat dalam bagian yang kita di awal, ayat 22b: “hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”. Seperti yang saya katakan juga di awal, kekuatan atau energi untuk mengasihi ini datang melalui berharap pada Allah. Petrus sudah menjelaskan segala sesuatu yang Allah telah lakukan untuk menyediakan bagi umat-Nya sebuah masa depan yang bahagia tidak ada batasnya dan tidak mungkin ada salahnya. Dan Petrus sekarang menggambarkan cara hidup orang-orang yang mengimani kebenaran itu dan yang menaruh harapan mereka kepada Allah seperti itu.

Tidaklah mengherankan bahwa perintah keempat ini terletak di antara dua pelajaran tentang pengharapan. Kasih itu tidak dapat dipisahkan dari pengharapan. Bahkan kasih itu terjadi ketika pengharapan nyata. Jika kita bukan orang-orang yang berharap, kita tidak mungkin menjadi orang-orang yang mengasihi. Sekarang mari kita renungkan bersama 1 Petrus 1:22-25.

Kasih yang dimampukan oleh pengharapan
Ada dua alasan untuk mengasihi dalam 1 Petrus 1:22-25. Alasan pertama diletakkan sebelum perintah itu sendiri dan alasan kedua diletakkan setelah perintah itu. Ayat 22a berbunyi, “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran...HENDAKLAH (ayat 22b) kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”. Setelah itu Petrus memberikan alasan yang kedua, “Karena (ayat 23) kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal”. Jadi perintah untuk sungguh-sungguh mengasihi berdiri di atas dua dasar. Dasar pertama adalah ketaatan kepada kebenaran yang menyucikan (ayat 22a). Dasar kedua adalah kelahiran baru oleh firman Allah (ayat 23). Kita pasti bertanya saat ini, apa hubungannya dengan pengharapan yang tadi dikatakan memberikan kekuatan kepada kasih? Darimana kita melihat hubungan pengharapan ini dengan kedua dasar untuk mengasihi itu?

Ketaatan kepada kebenaran yang menyucikan
Mari kita perhatikan ayat 22a, tujuan dari ketaatan yang menyucikan itu adalah kasih, “sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas”. Dengan kata lain, ketaatan di sini bukanlah ketaatan mengasihi. Ketaatan di sini memimpin pada mengasihi. Ketaatan macam apa kalau begitu? Ketaatan kepada kebenaran. Apakah kebenaran itu? Dalam konteks ini dan sesuai dengan kitab-kitab Injil, kebenaran di sini adalah Firman Allah (ayat 23). Dan Firman Allah yang demikian disebut di dalam ayat 25b sebagai Injil itu sendiri. Jadi, ketaatan kepada kebenaran artinya di sini adalah menaati Injil.

Apa artinya sekarang menaati Injil? Artinya adalah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus karena kabar baik Injil adalah “Percayalah kepada Yesus Kristus dan engkau akan selamat” (Kisah 16:31). Hal pertama dan utama dari Injil bukanlah mengasihi saudara-saudaramu. Untuk menerima Injil hanya membutuhkan bahwa kita ini percaya atau iman itu sendiri. Ini juga disinggung oleh Petrus dalam pasalnya yang ketiga dimana para suami tanpa iman di dalam Kristus digambarkan sebagai “tidak taat kepada Firman” (1 Petrus 3:1). Tidak taat kepada Firman berarti adalah para suami itu bukan orang percaya. 1 Petrus 2:8 dan 4:17 menggambarkan hal serupa bahwa yang “tidak taat kepada firman Allah” adalah mereka yang “tidak percaya pada Injil Allah”. Jadi tidak menaati firman di sini artinya adalah tidak menaati Injil, yaitu tidak percaya atau tidak beriman.

Jadi, 1 Petrus 1:22 sebenarnya dapat diartikan sebagai “karena kamu telah menyucikan dirimu oleh iman di dalam Injil Yesus Kristus dan iman ini memimpin kepada kasih persaudaraan”. Petrus menegaskan pemahaman ini ketika ia sendiri dalam Kisah 15:9 mengatakan bahwa Allah menyucikan hati orang-orang non-Yahudi “oleh iman”. Karena itu ketaatan kepada kebenaran di sini sebenarnya adalah iman kepada Yesus Kristus. Dan yang namanya iman tidak dapat dipisahkan dari pengharapan. Jika kita beriman bahwa Firman Allah itu kekal selama-lamanya, maka kita pun pasti menaruh pengharapan kita kepada Firman yang kita imani seperti itu.

Dasar pertama bagi kita untuk mengasihi menurut ayat 22a adalah ketaatan kepada kebenaran atau pengharapan kita kepada firman yang hidup dan kekal itu. Pengharapan macam yang menyucikan diri kita itu sehingga kita dimampukan untuk mengasihi? Jawabannya adalah pengharapan kepada firman yang kekal dan hidup itu menyucikan diri kita dari pengharapan kepada sesuatu yang fana dan tidak abadi seperti rumput dan bunga duniawi. Berharap kepada Allah menyucikan kita dari berharap kepada sesuatu duniawi yang sia-sia. Pengharapan kepada Allah menolong kita untuk melihat bahwa jika kita hidup demi indahnya bunga dan segarnya rumput dunia seperti uang, kenyamanan, ketenaran, kesenangan duniawi dan seks, maka kita akan layu, kering dan akhirnya gugur. Dan ketika pengharapan yang baru ini, pengharapan akan firman Allah yang hidup dan kekal itu, menyucikan kita dari segala pengharapan yang sia-sia dan fana itu, kita dimampukan untuk mengasihi satu sama lain dengan sungguh-sungguh.

Dilahirkan kembali oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal
Dasar kedua kita mengasihi adalah kita dilahirkan kembali oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Kalau kita perhatikan apa yang Petrus tekankan dalam ayat 23-25 maka kita menemukan bahwa ia tidak hanya menekankan kelahiran baru oleh firman Allah. Ia menekankan sesuatu yang spesifik tentang firman itu, bahkan ia sampai mengutip dari Perjanjian Lama, Yesaya 40:6-8. Apa yang ia tekankan dari firman Allah itu?

Kita sudah melihat bahwa dalam pasal 1 ini Petrus sangat menekankan sesuatu yang bersifat kekal: bagian atau warisan kita tidak dapat binasa (ayat 4), iman kita yang bernilai tidak fana (ayat 7), tebusan kita yang mahal bahkan tidak tidak fana    (ayat 18-19) dan firman Allah yang hidup dan yang kekal (ayat 23). Apa maksudnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa apa yang Tuhan berikan kepada kita itu tidak akan habis. Apa yang Tuhan janjikan kepada kita itu tidak akan pernah keliru. Segala yang Tuhan sediakan bagi kita adalah tetap dan akan selalu ada seperti Allah yang tidak akan pernah tidak ada. Dan orang-orang percaya yang berdiri di atas hal demikian tidak akan pernah binasa, selamanya. Dengan kata lain, penekanannya adalah pada pengharapan.

Ayat 24-25 semakin menegaskan betapa firman Allah itu tetap dan tidak akan pernah lenyap. Mengapa Petrus demikian menekankan sifat permanen atau sampai selama-lamanya firman Allah ini? Karena seperti peribahasa “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”, kita akan menghasilkan buah sesuai dengan pohon dimana kita berada. Petrus ingin kita melihat bahwa benih yang menciptakan pohon kita itu, yang menyebabkan kita lahir kembali, adalah firman Allah yang tidak dapat binasa, yang hidup, yang kekal dan selama-lamanya. Kalau pohonnya seperti itu, demikianlah buahnya kita. Kita akan tidak dapat binasa, memiliki hidup kekal dan selama-lamanya. Inilah pengharapan kita.

Jadi dasar kedua untuk mengasihi adalah hati yang sudah dilahirkan kembali oleh firman Allah untuk berharap. Sebuah pengharapan yang dibebaskan dari segala bunga dan rumput duniawi. Satu hal yang membuat kita tidak dapat mengasihi adalah ketakutan bahwa jika kita membayar harga kasih itu, maka kita akan kehilangan hal-hal indah yang dunia ini akan berikan kepada kita: “segala kemuliaannya seperti bunga rumput” (ayat 24): jika kita lebih menggunakan waktu dan energi kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain daripada diri kita sendiri, jika kita menerima kritik tanpa membela diri, jika kita mengampuni, jika kita bersukacita ketika orang lain diberkati sedangkan kita tidak, jika kita memberkati mereka yang mengutuk kita dan berbuat baik kepada mereka yang menindas kita.
Jika kita bersungguh-sungguh mengasihi dengan segenap hati, maka harga yang harus kita bayar adalah kita akan kehilangan kemuliaan bunga rumput yang orang-orang dunia ini kejar-kejar dan dambakan. Kuasa untuk mengalahkan ketakutan ini adalah kuasa pengharapan yang telah disucikan oleh TUHAN– bahwa kemuliaan dunia ini akan berlalu dan yang dilahirkan kembali oleh firman Allah dan yang berharap pada Allah itu, akan tetap hidup dan kekal selama-lamanya.

Kesimpulan
Jadi kasih ditopang oleh dua dasar. Dasar pertama adalah ketaatan kepada kebenaran yaitu ketika kita berharap kepada Injil Yesus Kristus. Dasar kedua adalah kelahiran kembali oleh firman TUHAN yang hidup dan kekal, dimana kita sekarang tidak lagi berharap kepada dunia yang akan binasa ini melainkan kepada TUHAN dan firman-Nya yang hidup dan yang kekal. Ketika kita sungguh berharap kepada Allah yang demikian – bahwa masa depan yang Ia rencanakan bagi kita adalah lebih indah dari segala keindahan yang dunia ini dapat tawarkan – maka kita akan disucikan dari segala pengharapan yang palsu dan dimampukan untuk mengasihi satu sama lain dengan sungguh-sungguh. Itulah kekudusan yang menghasilkan kasih persaudaraan.

=AW=

Menu Utama

Sedang Online

We have 163 guests and no members online