Ringkasan Kotbah

Minggu,
Tema: “Penyertaan Allah Tritunggal Dalam Kesengsaraan
Roma 5:1-5
Oleh: Pdt. Anni P. Saleh

PEMBAHASAN
Mengapa seorang percaya mengalami penderitaan? Penderitaan atau kesengsaraan secara teologis bisa menjadi cara yang dipakai Allah untuk mendorong seorang percaya lebih mengenal Dia dan maksud-maksud-Nya. Salah satu orang percaya yang penderitaan hidupnya dicatat oleh Alkitab adalah Ayub.

Pada mulanya Ayub menyikapi penderitaannya dengan sikap yang benar. Ia berkata kepada isterinya yang memintanya mengutuki Allah atas penderitaan yang dialaminya seperti ini: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Tetapi ketika orang-orang di sekelilingnya menekan dia dengan penilaian yang tidak berkenan di hatinya, ia jadi marah. Ia marah kepada orang-orang dan juga pada Allah. Sikap itu tidak memperbaiki sedikitpun dari kesengsaraan yang dihadapi
Ayub.

Pada akhirnya Ayub merendahkan diri di hadapan Allah. Ia sadar bahwa adalah benar jika ia datang kepada Allah membawa penderitaannya. Sikap itu melahirkan pengenalan akan Allah yang lebih dalam. Ayub 42:5-6 menuliskan pernyataan Ayub setelah ia merendahkan diri di hadapan Allah: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”. Ayub yang saleh, jujur dan takut akan Allah itu lebih mengenal siapa Allah yang dipercayainya melalui penderitaan yang dialaminya.

Sejarah gereja juga mencatat bagaimana para rasul yang memberitakan Injil mengalami banyak penderitaan. Petrus dan Paulus keluar masuk penjara. Dari semua rasul, hanya Yohanes yang tidak mati sebagai martir. Apabila kita memperhatikan tahun penulisan surat Roma, yaitu pada tahun 57 Masehi, kemungkinan besar orang percaya di Roma sedang mengalami penganiayaan karena kaisar Nero yang bengis itu sangat membenci orang Kristen. Dan bukankah sepanjang masa hidupnya di dunia, Yesus Kristus mengalami banyak penderitaan?
Penderitaan atau kesengsaraan dalam hidup orang percaya dibicarakan secara terbuka dalam Alkitab. Secara khusus, Roma 5:1-5 memberi landasan bagaimana orang percaya memahami tujuan penderitaan.

Ayat 1 - 2
Ayat-ayat ini merupakan transisi dari apa yang dibahas dalam Roma 1:18 – 4 : 25 yang membicarakan tentang keberdosaan manusia dan bahwa dalam status itu ia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari hukuman maut yang menimpanya. Jika kita mencermati tentang hukuman itu, manusia akan mengalami kematian secara jasmani, tetapi bukan hanya itu. Ada bentuk penghukuman lain yang akan terjadi pada zaman akhir. Karena hukuman ini secara faktual belum terjadi, tidak jarang orang memandang penghukuman Allah dengan tidak serius. Penghayatan yang kurang terhadap karya penebusan Allah menyebabkan orang percaya kurang menghargai betapa berharganya pembenaran Allah.

Selain itu, keberdosaan manusia telah memisahkannya dari Allah. Keterpisahan ini membuat hidup manusia tidak “lengkap”. Ia tidak akan pernah puas atas hidupnya sendiri, karena kebutuhan yang terutama, yaitu bersekutu dengan Allah tidak ia alami.
Berapa banyak manusia yang mengejar apa yang ada di dunia ini untuk memperoleh kepuasan hidup dan tidak mendapatkannya, lalu ia menjadi kecewa?

Setiap orang percaya yang memahami mengerikannya hidup tanpa Allah akan menghargai apa yang tertulis dalam Roma 5:1-2, yaitu bahwa oleh Yesus Kristus orang berdosa dibenarkan dan mengalami pemulihan relasi dengan Allah. Ia didamaikan dengan Allah. Pendamaian yang dimaksud dalam hal ini bukan sekedar seperti dua negara yang bermusuhan lalu berdamai. Allah dan manusia tidak sekedar tidak lagi
bermusuhan, tetapi terdapat relasi yang dalam antara Allah dan manusia. Hidup di dalam damai sejahtera dengan Allah seharusnya membawa orang percaya tahu apa yang dikehendaki Allah atas hidupnya.

Seorang laki-laki bernama Thomas Carlyle pada suatu hari jatuh cinta kepada sekretarisnya dan menikahinya. Setelah menikah, Thomas tetap memperlakukan isterinya sebagai sekretaris, karena itu, walau mereka terikat dalam hubungan suami isteri, Thomas tidak mengenal isterinya, termasuk apa yang diinginkannya. Pada suatu hari isterinya diketahui mengidap kanker dan penyakit itu membawanya kepada kematian. Setelah isterinya meninggal dunia, Thomas membaca buku harian sang isteri. Di buku itu sang isteri menuliskan bagaimana ia mendengarkan langkah kaki suaminya, tetapi langkah itu semakin jauh dan bukan semakin dekat kepadanya. Ia juga menulis betapa bahagianya ia, ketika sang suami bercakap-cakap dengan dirinya walau hanya 1 jam saja. Buku harian itu menuliskan betapa sang isteri merindukan sebuah relasi yang dalam antara dia dan suaminya, tapi sampai akhir hayatnya, ia tidak mengalaminya. Mengetahui kerinduan sang isteri, Thomas Carlyle berlari kekubur sang isteri, menangis di atas pusaranya, tetapi semua tidak lagi ada gunanya.

Kisah ini dapat kita “pinjam” untuk menggambarkan relasi yang sesungguhnya dikehendaki Allah setelah Yesus Kristus mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya. Allah merindukan relasi yang dalam antara Diri-Nya dengan kita. Allah merindukan setiap hari “langkah kaki kita” mendekat kepada-Nya. Allah bersukacita untuk saat-saat di mana kita datang untuk mengalami persekutuan dengan-Nya. Jika relasi Allah dan orang percaya terjalin secara dalam, maka seharusnya ia tahu apa yang Allah kehendaki atas hidupnya

Ayat 3 - 4
Ayat 3 dimulai dengan pernyataan: “Dan bukan hanya itu saja …”. Pernyataan ini menegaskan bahwa ada hal lain yang Allah kehendaki atas hidup orang percaya, yaitu jika ia mengalami kesengsaraan, ia tetap harus bermegah atau bersukacita. Mengapa?
Karena melalui kesengsaraan yang diijinkan Allah, orang percaya didorong untuk semakin dekat dengan Allah. Adanya relasi dengan Allah membuat seorang percaya yang menderita akan tetap bertekun menjalani hidup percayanya. Ia tidak gampang menyerah atau tahan uji dan ia akan terus berpengharapan, karena ia tahu bahwa ia bisa datang kepada Allah kapan saja untuk memohonkan kekuatan. Ia juga tahu bahwa bila di dunia ini hidupnya berat, pada akhirnya ia akan menerima kemuliaan Allah.

Sebenarnya, kata “kesengsaraan” yang digunakan dalam ayat ini lebih menunjuk pada penderitaan yang berat. Kita bisa menggunakannya bagi orang-orang yang dianiaya karena mengabarkan Injil, tetapi bukankah terkadang penderitaan yang kata orang “biasa-biasa saja”, dirasakan oleh yang mengalaminya sebagai sesuatu yang sangat berat? Dengan dekat kepada Allah, orang percaya akan hidup dalam pengharapan dan berpengharapan adalah rahasia bertahan hidup yang penting. Sebuah penelitian menuliskan: Seorang bisa bertahan hidup dengan tidak makan selama 40 hari; ia bisa tahan dengan tidak minum selama 8 hari; ia bisa bertahan hidup ketika ia tidak bernafas selama 4 menit. Tetapi seorang hanya bisa bertahan beberapa detik untuk hidup jika ia kehilangan pengharapan.

Ayat 5
Kita bisa saja tahu pentingnya berpengharapan, tetapi sekuat apa seorang percaya bertahan ketika penderitaan terasa sangat berat? Ayat 5 menyatakan, Roh Kuduslah yang akan menolong kita. Ia mencurahkan (bukan meneteskan) kasih Allah di dalam hati kita. Ayat ini memberitahukan sisi lain dari anugerah Allah. Roh Penolong itu membuat kita tidak ragu terhadap kasih Allah, walau hidup sedang dihadang kesengsaraan.

Mengenal Allah membuat hidup kita lengkap. Yesus Kristus membawa kita kembali kepada Allah dan Roh Kudus menopang kita untuk terus percaya kepada Allah. Bahkan kesengsaraan membuat kita semakin erat dengan Allah.

APLIKASI
Kesengsaraan bagi orang Kristen bukanlah momok, karena relasi yang erat dengan Allah membuat orang percaya mengerti bahwa hal itu mendorongnya semakin dekat dengan Allah. Selain itu, Roh Kudus yang berdiam di dalam hidup orang percaya akan senantiasa memberi kemampuan untuk tidak kehilangan harapan. Oleh anugerah Allah, kesengsaraan menjadi alat pembentukan karakter yang memuliakan Allah. Amin.
– APS –

Menu Utama

Sedang Online

We have 81 guests and no members online