Tema: “Diciptakan Untuk Berelasi Dengan Allah”
Kejadian 1:26-27; Mazmur 73:24-28
Oleh: Pdt. Em. Anni P. Saleh
Kekristenan adalah relasi. Alkitab secara berulang menyatakannya. Salah satu bagian Alkitab yang menuliskan tentang hal itu adalah Yohanes 15:1-8. Ayat-ayat tersebut memberitahukan betapa pengikut Kristus sangatlah bergantung kepada Kristus, seperti ranting pohon anggur bergantung pada pokoknya.
Menegaskan hal itu, Kejadian 1:26-27 menyatakan bahwa Allah secara bersengaja menciptakan manusia untuk berelasi dengan Dia. Pernyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menunjukkan bahwa manusia bukan hanya diciptakan secara khusus untuk mengemban tugas mencerminkan Allah, tetapi untuk berelasi dengan Dia. Louis Berkhof dalam buku Teologia Sistematika mengatakan, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menunjuk pada keistimewaan manusia, karena ia diciptakan dalam relasi dengan Allah. Jadi, karena relasi antara Allah dan manusia merupakan hal yang secara bersengaja diciptakan Allah, maka tanpa relasi dengan Allah hidup manusia akan hampa.
Blaise Pascal, seorang ahli matematika dan filsuf Kristen mengatakan, itu sebabnya, ketika seseorang tidak memiliki relasi dengan Allah, maka di dalam hidupnya seperti terdapat sebuah ruang kosong yang bernama ketidak-puasan. Apapun upaya seseorang meraih kepuasan hidup, selama itu bukan Allah, maka ia tetap saja tidak pernah akan puas. Dengan kata lain, memiliki relasi dengan Allah adalah letak kepuasan hidup manusia. Karena itu, adalah ucapan syukur yang tak terhingga ketika kita mengalami, relasi yang dipulihkan dengan Allah melalui Yesus Kristus yang kedatangan-Nya ke dunia baru saja kita rayakan.
Tetapi memiliki relasi dengan Allah yang memberikan kepuasan hidup tidak berarti terbebas dari pencobaan; pencobaan yang bisa merongrong hidup dan membuat kita menjadi tidak puas kepada Allah. Dan hal itulah yang terjadi dalam hidup Asaf, yang mazmurnya kita baca hari ini.
Asaf adalah keturunan Lewi. Ia seorang ahli musik dan menulis 12 dari 150 Mazmur yang ada di dalam Alkitab. Hidup dan pelayanan Asaf memberi gambaran kepada kita bahwa dia adalah seorang yang menjalani hidup dalam relasi dengan Allah; hidup yang puas. Tetapi melalui Mazmur 73 yang ditulisnya, kita bisa memahami celah ancaman yang membuat seorang yang telah memiliki relasi hidup dengan Allah tergoda untuk meragukan Dia.
Asaf terganggu ketika ia melihat kesuksesan hidup orang fasik, padahal mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai Allah dan hukum-hukum-Nya; mereka adalah orang-orang yang sombong. Mengapa mereka hidup dalam kemujuran? Lalu ia membandingkan dengan dirinya, seorang yang hidup dekat dengan Allah. Ayat 14 menuliskan keluhan Asaf: “Sepanjang hari aku kena tulah dan kena hukuman setiap pagi”. Bukahkah tulah dalam konteksnya berarti bencana yang datang sebagai wujud penghukuman Allah?
Asaf merasakan ketidak adilan, karena ia berpikir kedekatan dengan Allah adalah sebuah jaminan untuk memiliki hidup yang baik-baik saja. Ia merasakan kedekatan dengan Allah sebagai kesia-siaan. Ia meragukan Allah. Dan Asaf menggambarkan kekecewaannya dengan mengatakan hatinya terasa pahit dan buah pinggangnya terasa menusuk-nusuk, sebuah gambaran yang mengungkapkan dalamnya penderitaan yang dialaminya.
Tetapi Asaf tidak berhenti di sana. Ia memberitahu bagaimana ia pada akhirnya bisa menghadapi pergumulannya yang sedemikian dalam. Ia mengakui, kakinya nyaris terpeleset, nyaris tergelincir. Asaf menyadari bahwa Allah adalah Allah dan dia tidak lebih dari ciptaan. Karena itu ia memutuskan kembali mencari Allah untuk mendapatkan jawaban atas permasalah yang di hadapinya (ayat 17). Paulus membahasakan kesadaran Asaf dalam pengakuan “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil 4:13). Kita menerima pola yang indah, yaitu hadapi masalah bersama Allah.
Dengan jujur Asaf mengakui, ketika ia mencari Allah, ia belum mendapatkan jawaban mengapa hidupnya menderita, sementara orang fasik berlimpah dengan kemujuran, tetapi ia memutuskan menunggu Tuhan. Ia menggambarkan dirinya seperti hewan yang dungu dan tidak mengerti, tetapi ia tidak beranjak dari penantian atas pertolongan Allah (ayat 12). Dan dalam pergumulannya menanti-nantikan Allah, pada akhirnya Asaf berkata, bahwa Allah dan firman-Nya adalah Penuntun yang memimpin hari-hari hidupnya.
Ketika Asaf kembali dalam kebergantungan kepada Allah, meski masalah itu belum selesai, ia berkata: “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi” (ayat 25b), sebuah pengakuan bahwa hidupnya ada dalam tangan Allah. Ia akan menerima apa yang Allah ijinkan, apa yang Allah berikan dan ia tidak akan menuntut apa yang tidak Allah berikan kepadanya.
Pada akhirnya Asaf menyadari bahwa perjalanan hidup bersama Allah adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang bisa disaksikan karena Allah adalah Allah yang menuntun dan memimpin setiap langkah umat-Nya.
Hari-hari di tahun yang baru, yang akan kita lewati merupakan perjalanan yang masih sangat rahasia. Tetapi ada Allah yang baik yang setia menopang kita. Allah mau kita hidup secara bersengaja membangun relasi dengan Dia; sebuah relasi yang membuat kita kuat dalam menghadapi apa yang akan terjadi dan menjadikan hidup kita sebagai kesaksian yang memuliakan nama-Nya. Amin
=APS=